Tidak ada yang terlalu istimewa dari desa ini, roda kehidupan penduduknya berputar layaknya desa-desa pegunungan lainnya di TTS. Penduduknya bergantung pada sektor perkebunan, menenun, berternak, yahhh layaknya suasana pedesaan pada umumnya.
Terdapat pasar di Desa ini, namun hanya buka seminggu sekali dengan barang dagangan yang kurang variatif dan jumlah pedagang yang tidak terlalu banyak. Yang diperjual belikan mulai dari "makanan pokok" orang NTT, yaitu sirih pinang, benang berwarna-warni dalam gelondongan besar untuk menenun, hewan ternak, barang kebutuhan sehari-hari seperti sabun, minyak kelapa, minyak tanah dan segala tetek bengeknya. Nampak sebagian besar yang ditemukan disini adalah barang kebutuhan primer yang dibawa oleh penduduk lokal dan pedagang yang datang dari kota menggunakan Truk.
|
Pasar Tradisional ala NTT di Nunbena |
Nunbena terletak di daerah perbukitan dengan jalan naik turun serupa dengan Fatu Ulan. Cukup miris memang melihat seorang nenek menggendong barang jualannya melewati daerah berbukit sejauh beberapa kilometer demi berharap barang tersebut laku dijual. Mungkin tak banyak uang yang dapat diperoleh, atau bahkan uang tersebut akan habis karena dia akan membelanjakannya untuk membeli keperluan lain.
Aku berasa seperti terlempar beberapa dekade ke belakang saat berada di Nunbena, kesan tradisional, alami, etnik, membuatku penasaran dan menjelajahi pasar ini yang tak sampai 5 menit sudah habis kulewati dari ujung ke ujung. Udara yang sejuk dan berkabut dihiasi bukit-bukit padang rumput menghijau membuat segala sesuatunya menjadi menarik untuk dipandang mata dan terekam dalam ingatan
Pemikiran masyarakat disini nampak tak sekompleks masyarakat di kota besar yang saling berlomba-lomba membeli gadget terbaru karena takut ketinggalan jaman, handbag seharga puluhan juta untuk menunjukan status sosial, krim anti keriput demi menjaga penampilan. Terlalu ekstrim memang bila dibandingkan, namun sekali-kali orang kota perlu dibawa ke tempat seperti ini untuk memperlambat pacing nya sehingga lebih relax, lebih berempati dan kadang memperoleh pencerahan dan cara berpikir lebih jernih tentang hidup dan kehidupan.
Setelah melewati pasar tersebut, ambulance ku berjalan terus maju sampai menemukan desa Nunbena dan bukit-bukit hijau diselingi jurang terjal. Lega dan puas rasanya mata ini saat melemparkan pandangan jauh ke arah perbukitan tersebu, bahkan birunya pantai Kolbano bisa terlihat dari sini. Dari sini pula aku dapat melihat betapa sulitnya membangun infrastuktur disini. Medan yang tidak rata ditambah ancaman longsor, membuat pembangunan jalan raya beraspal sulit, dan kalaupun ada akan cepat rusak. Dari bukit-bukit di kejauhan tampak guratan berwarna putih meliuk membelah bukit, dan itulah jalan berbatu yang dipakai masyarakat untuk menghubungkan desa-desa disini.
Rasanya sulit bagiku untuk kembali ke tempat ini. Namun saat-saat aku berjalan kaki menyusuri bukit-bukitnya sambil bersenandung mengucapkan syukur pada Tuhan akan kukenang. Saat itu aku hanya duduk di tepian jurang, sambil duduk mengarahkan pandang ke arah lautan, menyalakan MP3 player dan melihat awan-awan bergerak berkejaran tertiup angin kencang. Tak banyak yang kulakukan, hanya duduk, diam, menarik nafas panjang dan menikmati setiap menit yang tak akan terulang kembali di Nunbena.