Minggu, 27 Januari 2013

Ekstrim Kuliner : Kawok


Pernah dengar lelucon bahwa orang Manado memakan semua yang bergerak? Coba kalau sepeda motor bisa dimasak rica-rica, mungkin sudah dimasak juga. Memang agak berlebihan leluconnya, namun ada benarnya juga, karena di Manado kita dapat menemukan masakan yang berbahan dasar daging anjing, paniki (kelelawar), kucing, ular bahkan tikus.

Saya sebenarnya kurang begitu akrab dengan hewan yang bernama TIKUS. Namun sungguh sayang nih sudah jauh-jauh sampai di Manado tapi tidak mencoba Masakan yang diolah dari Kawok (tikus hutan berekor putih).

Masakan ini pun tidak terlalu mudah ditemui di tempat kelahirannya di Sulawesi Utara. Aku harus naik ke daerah perbukitan Tinoor ke arah Tomohon dari kota Manado untuk dapat mencicipi masakan kawok yang enak menurut temanku.

Setelah tiba di restoran yang dimaksud aku mulai berkeringat dingin menantikan apa yang akan muncul di meja saat aku memesan Kawok Rica-Rica pada pelayan. Bagaimana nanti penampakannya saat terhidang di meja ku. Bagaimana jika pas wajahnya atau cakarnya yang menghadap wajahku? Bagaimana pula nanti rasanya? Pokoknya butuh nyali ekstra bagiku untuk untuk menghadapi apalagi menyantap hidangan ini. Tapi yahhhh daripada penasaran, tancap jo!

Tiba-tiba hadirlah hidangan itu, dan nampak seperti potongan-potongan daging berbalut bumbu cabai merah yang cukup tebal. Aku mulai memilih bagian yang cukup netral bagi pikiranku dan mengindari penampakan-penampakan aneh dari badan sang tikus yang sudah terbujur kaku dan berbumbu dalam mangkuk.

Ini dia tampang Kawok Sebelum dimasak, berbeda dari tikus-tikus yang ada di rumah 
Kawok masak rica-rica
Tak lupa pula tampil nasi bersantan yang dibungkus dalam daun kunyit sebagai teman memakan kawok (rasanya mirip buras dengan aroma daun kunyit). Sepotong daging kawok mulai kunikmati dan otakku mulai bekerja keras mengidentifikasinya. Rasanya tidak aneh kok, mirip ayam namun dengan tekstur lebih lembut... lebih kasar dari daging kodok. Namun tak ada bau atau rasa tajam lain dari masakan ini. Tapi tetap saja ini tidak akan menjadi masakan Manado favoritku hahaha.

Memasak kawok rica-rica mungkin sedikit lebih netral dibanding mencoba kawok yang dimasak santan. Nanti deh untuk memakan yang kuah santan, takut tidak tertelan dan jackpot. 

Harga sepotong kawok di Tinoor saat itu (2010) seingatku 7000-8000 dan harga nasi bungkus daun kunyitnya kayaknya cuma 1000 atau paling mahal 2000 per bungkus. Setidaknya rasa penasaranku lunas terpuaskan dan hari itu aku melanjutkan perjalanan menuju Tondano untuk menikmati keindahan danau terbesar di Sulawesi Utara sambil melanjutkan wisata kuliner di sana.

Related Articles :

Rabu, 23 Januari 2013

Pura Tirtha Empul, Tampaksiring




Pura Tirtha Empul atau yang biasa dikenal sebagai Pura Tampaksiring adalah salah satu pura yang terkenal bagi wisatawan yang sekaligus menjadi pura penting bagi warga Bali dalam menjalankan ibadah keagamaannya. Pura ini terkenal dengan adanya sumber mata air besar dalam pura yang kemudian dialirkan melalui pancuran-pancuran dalam beberapa kolam. Uniknya seluruh pancuran tersebut memiliki nama masing-masing.

Nama pura diambil dari nama mata air yang terdapat didalam pura ini yang bernama Tirtha Empul seperti yang telah disebutkan diatas. Secara etimologi bahwa Tirtha Empul artinya air yang menyembur keluar dari tanah. Maka Tirtha Empul artinya adalah air suci yang menyembur keluar dari tanah.


Keberadaan pura ini tak lepas dari mitos bahwa mata air suci diciptakan oleh Dewa Indra saat  banyak pasukannya telah diracuni oleh Mayadanawa. Ia menancapkan tombaknya ke bumi untuk membuat air mancur keabadian untuk menghidupkan kembali mereka.

Jika anda masuk ke bagian dalam pura, anda akan menemukan kolam utama dengan 12 pancuran tempat sebagian orang melakukan ritual mandi dengan tatacaranya yang khusus dan biasanya mereka mempersembahkan sesuatu dan berdoa pada setiap pancuran yang ada. Selain warga Bali sendiri, orang asing, walaupun bukan beragama Hindu dapat turut mandi dengan mengikuti tata cara yang ada dan pakaian yang pantas. 

Selain kolam utama, di sampingnya kita dapat menemukan 2 kolam lainnya dengan pancuran. Dan jika kita masuk lebih dalam lagi, kita akan menemukan kolam mata air Tirtha Empul, dimana nampak muncul mata air dari dasarnya yang berupa pasir yang berwarna kebiruan. 

Di bagian arah jalan keluar kita akan menemukan kolam lainnya yang berisi banyak ikan koi. Jika kita mengunjungi pura ini dengan membawa anak kecil, mungkin inilah bagian yang menarik bagi mereka, dimana kita dapat menyaksikan ikan koi berwarna-warni dalam ukuran cukup besar, dan kita dapat membeli makanan ikan untuk mengumpulkan dan memberi makan ikan-ikan tersebut.

Kolam ikan koi di Tampaksiring
Pura Tirtha Empul
Sebuah prasasti tanggal berdirinya candi di situs untuk 926 AD. Sejak - selama lebih dari seribu tahun - orang Bali telah datang untuk mandi di air suci untuk penyembuhan dan dalam upacara-upacara keagamaan.

Pura ini terletak di Kabupaten Gianyar, tak jauh dari Ubud. Jarak pura ini dari Denpasar adalah sekitar 36 km ke arah utara melewati Ubud. Apabila kita menggunakan jasa tur lokal, biasanya kunjungan ke pura ini dibarengi dengan kunjungan ke Ubud dan Kintamani yang memang satu arah. 
Istana Presiden Tampaksiring dengan Jembatan Persahabatannya 
Tampaksiring
Bagian luar Pura Tampaksiring
Mata air Tirtha Empul yang memancar dari dasar pasir
Related Articles :

Minggu, 13 Januari 2013

Kampung Bena



Kampung Bena, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur
Nama Kampung Bena mungkin asing di telinga kita. Namun sebuah iklan minuman berenergi mencantumkan nama Kampung Bena dan Gunung Inerie saat mempromosikan "Ayo ke Labuan Bajo". Dan berawal dari iklan itu aku mulai penasaran : "ada apa yang istimewa di Kampung Bena?"

Kampung Bena terletak di Kabupaten Ngada, yang masih memerlukan perjalanan beberapa jam dari Labuan Bajo. Kota terdekat adalah Bajawa yang berjarak 15 km. Aku sendiri berangkat dari Ende saat itu untuk mencapai kampung Bena menggunakan mobil carter dengan perjalanan sekitar 3 jam dari Ende.

Perjalanan dari Ende menuju Bajawa akan diawali dengan menyusur pesisir pantai Ende yang berpasir hitam, kemudian naik ke wilayah pegunungan dengan pemandangan lembah, gunung yang elok dipandang mata. Indah, tapi tidak ada yang istimewa dan khas. hal-hal seperti itu lazim ditemui di tempat lain. Namun waktu seolah berhenti ketika kita tiba di Kampung Bena. Tepat di sisi jalan kita bisa menyaksikan deretan rumah-rumah adat dengan batu-batu gamping hitam besar kecil menjadi pagar dan undakan menuju sebuah kompleks kampung megalitikum yang masih sangat terpelihara hingga saat ini.

Kampung Bena dilihat dari tepi jalan raya
Seolah terlempar ke beberapa abad sebelumnya, di kampung ini kita bisa melihat batu-batu gamping runcing berukuran besar yang berdiri tegak ala menhir. Bukan hanya itu, deretan rumah adat tradisional beratap rumbia berjajar rapi di kiri dan kanan dalam formasi bertingkat. Di latar belakangnya tampak Gunung Inerie yang berwarna hijau dengan bentuk nyaris seperti segitiga utuh.

Bena merupakan kampung adat di Flores yang masih mempertahankan budaya dan gaya hidup tradisional. Formasi batu-batu megalitikum berusia 1200 tahun berjajar tegak di  antara rumah-rumah panggung beratap rumbia dengan hiasan prajurit bersenjata di atas tiap atap. Formasi batu tersebut menjulang di tengah-tangah kampung dan beberapa di ataranya menyerupai altar/meja. Batu-batu tersebut terletak di tempat serupa lapangan yang bertingkat. Lapangan tersebut terletak diantara 2 barisan rumah yang berderet sejajar. Di lapangan tersebut juga terdapat beberapa bangunan serupa payung yang nampak sering digunakan seperti tempat berteduh. 

Di ujung lapangan tersebut yang merupakan akhir dari deretan rumah tradisional, kita akan melihat sebuah Gua Maria. Ya, warga Bena merupakan penganut agama Katolik namun tetap mempertahankan kepercayaan dari masa megalitikum yang masih terpelihara baik hingga saat ini.

Menhir dan batu mendatar serupa altar yang terdapat di tengah kampung Bena
Gunung Inerie dilihat dari Kampung Bena
Kampung ini terletak di kaki Gunung Inerie yang masih dalam status aktif. Gunung ini nampak hijau kekuningan karena sebagian besar berupa lahan gundul, walau masih menyisakan hutan di bagian puncaknya. Gunung ini akan tampak seperti segitiga sempurna dengan sisi yang rapi jika kita melihatnya dari lokasi tertentu (persis seperti lukisan anak TK yang biasa menggambar gunung berbentuk segitiga dengan penggaris). Inerie terakhir meletus pada tahun 1970. Gunung berapi ini menjadi penting bagi masyarakat Bena, karena mereka meyakini bahwa Zeta-dewa pelindung mereka tinggal di gunung tersebut.

Nilai-nilai tradisi dan gaya hidup tradisional menjadi daya tarik kampung ini. Selama turun temurun mereka mewariskan adat dan tradisi nenek moyang termasuk mewariskan keahlian menenun bagi tiap wanita yang tinggal di sana. Pemandangan wanita menenun di teras rumah panggung di kampung Bena adalah pemandangan lazim yang kita temui. Mereka menenun menggunakan teknik tradisional dan menjual hasil tenunannya dangan menggantungkannya di muka rumah. Harganya yang ditawarkan sangat wajar jika kita menilik proses pengerjaannya yang masih handmade dan memakan waktu lama. Motif khas dari tenunan mereka adalah motif kuda.
Menenun adalah aktivitas sehari-hari wanita Bena dan mereka menggantungkan hasil tenunannya di muka rumah untuk  dijual
Berfoto bersama seorang wanita Bena yang sedang menenun

Motif kuda pada kain tenun yang berwarna merah adalah motif khas tenunan Bena
Selain menhir dan tenunan. Penduduk Bena juga mengandalkan sektor perkebunan sebagai mata pencaharian mereka. Di lapangan di tengah kampung tersebut kita juga dapat menemui cengkeh, kemiri yang sedang dijemur. Vanili juga merupakan salah satu hasil kebun mereka yang mereka jual dalam ikatan-ikatan kecil yang dipajang di pagar rumah.



Rahang babi yang tersusun rapi di sebuah rumah di Kampung Bena
Jika anda berkunjung ke Flores, Kampung Bena merupakan salah satu objek wisata yang sayang anda lewatkan. Di kabupaten Ngada kita juga dapat menemui objek wisata spektakuler lainnya yaitu Taman Laut Riung 17 Pulau, Mata Air Panas Soa dan rumah Retret yang indah di Mataloko.

Kampung adat lainnya di Flores : Kampung adat Koanara di sekitar Danau Kelimutu
Taman Laut Nasional Riung 17 Pulau
Rumah Retret Katolik Mataloko di jalan raya antara Ende-Bajawa
Mata Air Panas Soa yang berwarna kehijauan

Related Articles :
Yang Unik dan Menarik di Kabupaten Ngada, Flores
Pulau Kanawa, Mutiara di Laut Flores
Nunbena, Traditional Highland Village of NTT
Jadwal Festival Terbaik di NTT

Sabtu, 12 Januari 2013

Colors of the Wind


Colors of the Wind adalah salah satu lagu yang text nya aku suka (dengan mengabaikan unsur animisme nya). Menggambarkan begitu banyak keindahan yang akan kita dapatkan bila kita berinteraksi dengan hormat, harmonis dan menikmati setiap anugrah yang Tuhan berikan melalui alam. Menikmati keberagaman budaya, manusia, bentang alam dan lain-lain yang membuat dunia berwarna-warni dan indah.

Perasaan yang disyairkan lewat lagu Colors of the wind mungkin bisa jadi akan mewakili perasaan para  traveller saat mereka menyadari betapa sempitnya dunia yang mereka kenal; betapa kecilnya apa yang mereka tahu tentang bumi yang mereka kenal; betapa kayanya keberagaman alam dan budaya yang mereka temukan; dan betapa banyak rasa yang bisa mereka resapi dan kecap dalam-dalam lewat seluruh indra mereka. Perasaan tersebut yang membuat mata dan hati seorang traveller terbuka menerima berbagai perbedaan dan toleran menerimanya dengan atau tanpa turut larut di dalamnya.

Pada postingan kali ini, aku ingin menuliskan text lagu Colors of the Wind beserta beberapa foto pelangi yang sempat kutangkap dengan kameraku.

Full Rainbow on Sunua District, Kaimana, West Papua, Indonesia
Penampakan 2 Pelangi yang amat jarang -Kaimana, Papua Barat

Colors of the Wind 

You think you own whatever land you land on
The earth is just a dead thing you can claim
But I know every rock and tree and creature
Has a life, has a spirit, has a name
You think the only people who are people
Are the people who look and think like you
But if you walk the footsteps of a stranger
You'll learn things you never knew you never knew

Have you ever heard the wolf cry to the blue corn moon
Or asked the grinning bobcat why he grinned?
Can you sing with all the voices of the mountain?
Can you paint with all the colors of the wind?
Can you paint with all the colors of the wind?

Come run the hidden pine trails of the forest
Come taste the sun-sweet berries of the earth
Come roll in all the riches all around you
And for once, never wonder what they're worth

The rainstorm and the river are my brothers
The heron and the otter are my friends
And we are all connected to each other,
In a circle, in a hoop that never ends

Have you ever heard the wolf cry to the blue corn moon
Or let teh eagle tell you where he's been
Can you sing with all the voices of the mountain?
Can you paint with all the colors of the wind
Can you paint with all the colors of the wind

How high does the sycamore grow?
If you cut it down, then you'll never know
And you'll never hear the wolf cry to the blue corn moon
For whether we are white or copper-skinned
We need to sing with all the voices of the mountain
Need to paint with all the colors of the wind
You can own the earth and still
All you'll own is earth until
You can paint with all the colors of the wind

Vanessa Williams, Colors Of The Wind, OST. Pocahontas

Double Rainbow in Waho District, Kaimana, West Papua

Related Articles :

Selasa, 08 Januari 2013

FAJAR dan senja



Fajar dan senja adalah saat favorit bagiku untuk mengabadikan keindahan langit melalui semburat warna-warninya. Walau pun warna langit fajar tak sedramatis senja, namun kehadiran fajar sering dikaitkan dengan harapan, semangat, kebangkitan dan hal-hal positif. 

Berbeda dengan senja, untuk mengambil foto-foto fajar seringkali membutuhkan "pengorbanan" untuk bangun lebih pagi. Apalagi tempat favorit untuk ku dalam mengambil foto-foto fajar adalah saat menyaksikan matahari terbit dari puncak gunung. 

Lokasi terbaik yang pernah kukunjungi saat menangkap momen fajar melalui kamera adalah di Bromo. Pemandangan ala lukisan terhampar dihadapan mata. Ditambah lagi mendadak aku kangen matahari secara luar biasa pada saat itu karena suhu di Bromo yang dinginnya minta ampun saat subuh. Fajar pagi hari itu benar-benar merupakan obat manjur untuk mengatasi dingin yang menusuk tulang dan untuk memuaskan rasa penasaranku menyaksikan keindahan Bromo Tengger dan Semeru.

Bersama postingan kali ini saya tampilkan beberapa foto Sunrise yang sempat tertangkap kameraku dari beberapa lokasi.

Fajar di Danau Kelimutu, Flores, Nusa Tenggara Timur
Menyaksikan fajar dari Dieng dengan pemandangan Gunung Sindoro 
Sang Fajar, Dataran Tinggi Dieng
Fajar di Puncak Penanjakan, Bromo
Sunrise from Mt. Penanjakan, Bromo
Fajar di Angkor Wat, Kamboja
Sunrise in Glory Cruise in Ha Long Bay, Vietnam
Wat Arun, Bangkok. Temple of the Dawn
Related Articles :

fajar dan SENJA


Fajar dan Senja adalah saat favorit bagiku untuk mengabadikan keindahan langit melalui semburat warna-warninya. Senja seringkali dikaitkan dengan perasaan romantis dan hangat. 


Senja juga merupakan saat yang ditunggu-tunggu jika kita tengah berkunjung ke pantai. Menyaksikan matahati terbenam di cakrawala sambil ditemani debur ombak adalah salah satu favoritku. Namun sekedar tips, banyak orang yang segera meninggalkan pantai saat matahari telah sempurna tenggelam di cakrawala, namun warna-warna senja yang indah sebenarnya muncul 10-15 menit setelahnya.

Lokasi terbaik menurutku untuk menyaksikan Senja adalah di Bali dan Kaimana-Papua. Sebenarnya senja dapat saja terlihat indah di mana pun kita melihatnya. Bahkan langit berpolusi layaknya Jakarta bisa menampilkan senja indah di antara gedung-gedungnya. Namun Bali dan Kaimana tetap merupakan tempat favoritku untuk menyaksikan matahari terbenam dan memunculkan warna-warnanya yang spektakuler.

Senja di Morotai, Maluku Utara
Senja di Kaimana, Papua Barat. Kaimana dikenal sebagai "Kota Senja Indah"
Senja di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur
Sunset di Tanah Lot, Bali
Calm Sunset in Ha Long Bay, Vietnam
Related Articles ;

Rabu, 02 Januari 2013

Mahiru No Youni

真昼のように
Mahiru No Youni

Inochi wo kakete ai wo shimesareta
(He show his love by giving His life for us)
命をかけて愛を示された

Iesu-sama ni deai subete ga henwatta
(Jesus came down and change all of us)
イエス様を出会いすべてがかわった

Watashi wa anata ni nani wo motte
(What can a worthless me give You?)
わたしはあなたに 何を持って

Kansha wo arawaseba ii no darou
(I can only give thanks to You)
感謝を表せばいいのだろう

Mahiru no youni kagayakinagara
(Like the shining and glowing noon)
真昼のように輝きながら

Anata no ai wo tsutaetai
(Your love conveys)
あなたの愛を伝えたい

Iesu-sama no youni kagayaki tsuzukeru
(Jesus continues to shine)
イエス様のように輝き続ける

Yo no hikari ni shitekudasai
(Light of the world, He guides.)
世の光にしてください

Selasa, 01 Januari 2013

2013 : A New Beginning

Picture taken in Dieng Highland, Central Java
"No one can go back and start a new beginning, but anyone can start today and make a new ending". 
I really began to think about that statement. The conclusion was that we don't start over; but we begin again right where we are, making things better in our lives.

Happy New Year!!!

Related Article :
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...