Kamis, 23 Agustus 2012
Jumat, 17 Agustus 2012
17 Agustus 2009
17 Agustus selalu diperingati menjadi hari yang istimewa di Indonesia. Bendera merah putih berbagai ukuran akan dikibarkan menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. 17 Agustus juga selalu dirayakan di rumahku, karena mama ku berulang tahun tepat di tanggal tersebut.
Namun dari sekian banyak "17 Agustus" yang pernah kulewati, tahun 2009 adalah yang cukup berkesan karena aku merayakannya di atas sebuah kapal yang sedang terapung di tempat karena mesinnya rusak.
Pada saat itu, aku sedang menjalankan masa baktiku sebagai seorang dokter PTT di tempat yang sangat sungguh super terpencil. Puskesmas Longgar-Apara, Kecamatan Aru Tengah Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, Provinsi Maluku.
Mengapa kukatakan sangat sungguh super terpencil? Jawabannya adalah kerena aku harus melewati perjalanan selama 14-16 jam menggunakan perahu kayu hanya untuk mencapai ibukota kabupaten demi mencari sinyal handphone, berbelanja kebutuhan dapur bulanan dan memasukan laporan Puskesmas ke Dinas Kesehatan.
Dan pada 17 Agustus 2009, perjalanan yang 16 jam itu molor menjadi dua setengah hari karena kapal kayu yang kunaiki mengalami kerusakan mesin. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.
Foto saat 17 Agustus 2009 |
15 Agustus
Mama Ho dan Ridwan sang pemilik Kapal bernama "Spirit" memberitahu aku bahwa besok kapal mereka akan kembali ke Apara setelah selasai berbelanja di Dobo.
Mama Ho adalah salah satu pedagang Tionghoa yang memiliki toko kelontong serba ada di Apara. Keluarga mereka sudah layaknya seperti kerabat dan orang tua bagiku saat aku ber PTT. Mereka sangat membantuku dalam melewati hari-hari PTT ku yang kering keras namun berkesan.
Hari itu aku pun sibuk berbelanja. Perjalanan ke Puskesmas yang memakan waktu hampir seharian membuat aku hanya mengunjungi kota sekitar 1 bulan sekali.
Aku berbelanja bersama teman-teman di rumah dinas dokter di kota Dobo. Beras, minyak tanah, minyak goreng, kacang hijau, mie instant, kerupuk udang, makanan kaleng, bawang dan segala teman-teman dapurnya kubeli untuk membuat hidupku selama 1 bulan ke depan terhindar dari kelaparan. Manajemen keuangan ala ibu rumah tangga dalam berbelanja ke pasar kupelajari saat itu :)
Aku berbelanja bersama teman-teman di rumah dinas dokter di kota Dobo. Beras, minyak tanah, minyak goreng, kacang hijau, mie instant, kerupuk udang, makanan kaleng, bawang dan segala teman-teman dapurnya kubeli untuk membuat hidupku selama 1 bulan ke depan terhindar dari kelaparan. Manajemen keuangan ala ibu rumah tangga dalam berbelanja ke pasar kupelajari saat itu :)
Baju-baju sudah kukemas rapi hari itu agar aku siap berangkat besok. Barang belanjaan dan ransum sebulan telah kutaruh di dalam kapal "Spirit" agar esok hari aku tidak terlalu kerepotan membawa banyak barang dari rumah dinas dokter di kota Dobo menuju tempat kapal bersandar. Hari itu berakhir dengan baik.
16 Agustus
Seingatku "Spirit" berangkat cukup pagi saat itu. Jika kita menggunakan kapal, kita tidak bisa sembarangan berangkat sekehendak hati. Pasang surut air laut harus diperhatikan beserta arus laut. Jika tidak, bisa jadi kapal malah terkandas di darat.
Jika anda bertanya : "berapa jumlah uang yang harus dibayar untuk perjalanan dari Dobo ke Apara selama 16 jam?" Jawabannya adalah tidak sepeser pun. Mungkin anda terkejut, namun itu kenyataannya.
Kepulauan Aru adalah Kabupaten dengan 700 pulau-pulau yang tersebar. Namun ironisnya tidak didukung oleh sarana transportasi laut yang baik. Yang ada hanyalah : carter speedboat/kapal yang mahal namun cepat sampai; Atau menumpang pada kapal pedagang dengan jadwal yang tidak jelas namun gratis. Beberapa kampung menerapkan gratis, namun peraturan di kampung lain di Aru mungkin berbeda, dimana kita harus membayar 20-30 ribu sebagai pengganti uang minyak (tetap saja ekonomis bukan?)
Peta Kabupaten Kepulauan Aru |
Spirit cukup sarat penumpang kali itu. Selain membawa barang dagangan dari pemilik kapal, kapal ini juga sarat ditumpangi orang-orang yang hendak kembali dari Dobo menuju Apara.
Nampak di antara penumpang itu Pak Camat Aru Tengah Selatan yang patut dikategorikan sebagai "... langka" karena jarang sekali hadir di desa kami, walau kantor kecamatan jelas berdiri tegak di desa Longgar-Apara. Pak Camat nampaknya lebih betah tinggal di kota daripada di kantor. Namun 17 Agustus membuat ia harus kembali ke Longgar-Apara untuk menjadi inspektur upacara, difoto, membuat Surat Perintah Perjalanan Dinas dan kembali ke kota secepatnya. Mental dan dedikasi yang tidak pantas dijadikan teladan.
Bila menghitung lama perjalanan, maka seharusnya Spirit yang berangkat pagi ini akan tiba tepat tengah malam di Apara. Angin dan ombak seperti biasa selalu setia menemani perjalanan kami dari Dobo sampai ke Benjina. Selanjutnya kami memasuki selat sempit yang nampak seperti sungai. Tipuan mata memang, karena walau sempit, namun airnya asin dan melintang membelah kepulauan Aru dari barat ke timur sebanyak 3 kali (Sungai Manumbai, Sungai Workai dan Sungai Maekor yang ketiganya berair asin).
Perjalanan laut selama itu memang mengandung banyak rintangan. Perbandingannya hampir 1:1 antara lancar dan terhambat. Kadang kapal terkandas, kadang arus sungai terlalu kencang, kadang mesin rusak dan macam-macam alasan lain. Kali ini mesin utama kapal MATI total di perairan antara Lorang dan Manjau. Umumnya mekanik jadi-jadian akan bermunculan dari para penumpang kapal dan perjalanan bisa dilanjutkan. Namun kali ini kami memerlukan spare part yang rusak.
Pertanyaannya adalah : Dimana kami dapat membelinya di tengah selat ini?
Pertanyaannya adalah : Dimana kami dapat membelinya di tengah selat ini?
Kami terapung tak jelas dan membuang jangkar. Berharap kapal lain yang juga lewat di jalan yang sama bisa meminjamkan spare part nya. Hukum Laut tak tertulis biasanya dipatuhi di tempat ini. Hukum itu berbunyi : "tolonglah orang yang sedang kesulitan di laut sedapat mungkin". Kadang spare part atau apapun bisa diberikan cuma-cuma bila kita berpapasan dengan kapal lain yang mengalami kesulitan.
Sampai matahari terbenam, spirit tak beranjak dari tempatnya membuang jangkar. Kapal lain yang lalu lalang juga cukup jarang dan tidak ada yang membawa cadangan benda yang kita inginkan. Menepi ke daratan akan membuat masalah baru, karena kami dikepung rawa, dan akan sangat berbahaya jika kapal menjadi miring akibat kandas dan waspada serangan buaya sepanjang rawa. Jadilah kami menghabiskan malam yang tenang hari itu. tidur bertabur bintang dalam keheningan malam tanpa secuil suara apapun. Hari itu berakhir dengan kurang baik.
17 Agustus
Pagi hari, 17 Agustus telah tiba. Pak Camat yang seharusnya menjadi inspektur upacara masih bergelung dalam sarungnya dan terapung di selat sempit.
Semua mulai menggeliat berusaha mencari sesuatu yang bisa menghangatkan perut. Dari bagian belakang kapal terdengar berita tak sedap. Karena panci satu-satunya di kapal ini bocor. Bocornya pun tepat di tengah panci sebesar jarum. Air akan menetes bila kita mulai memasak air dan dapat membuat api di kompor padam.
Dan pertandingan 17 Agustus level 1 pun dimulai. Kami bertanding adu cepat antara kompor mati atau air mendidih terlebih dahulu saar memasak air :) . Hasil pertandingan itu tidak dimenangkan siapa pun. Air setengah hangat pun diangkat untuk membuat kopi, Keputusan yang tepat saat itu.
Dan pertandingan 17 Agustus level 1 pun dimulai. Kami bertanding adu cepat antara kompor mati atau air mendidih terlebih dahulu saar memasak air :) . Hasil pertandingan itu tidak dimenangkan siapa pun. Air setengah hangat pun diangkat untuk membuat kopi, Keputusan yang tepat saat itu.
Stok makanan mulai menipis, kami tidak menyiapkan cukup bekal makanan dan air untuk bermalam. Tuntutan perut yang berteriak kelaparan memaksa kami melanjutkan pertandingan ke Level 2 : "memasak mie instan menggunakan panci berlubang". Untunglah kami menumpang kapal pedagang yang berisi banyak dagangan berupa bahan makanan, beras, mie instant dan air. Kami hanya perlu mengeluarkan uang dan memembelinya walau di atsa kapal Spirit.
Seolah tak cukup kenyang, pertandingan level 3 dimulai. "Kami mulai memasak nasi dengan panci bocor itu". Sungguh konyol memang bagaimana kami berusaha saat itu untuk menghindari tetesan air dari panci memadamkan api kompor. Hasil kembali berakhir imbang, saat nasi mulai menjadi bubur, kami putuskan untuk berhenti dan mulai membawa segala hasil masakan kami untuk dibagi rata.
Masalah baru muncul : mana piring dan sendoknya???
Nampaknya laut telah membuat manusia menjadi kreatif. Lingkungan yang serba terbatas di laut membuat ide-ide aneh dan cemerlang muncul. Kami membelah botol air mineral 1,5 liter menjadi dua. itulah piring kami. dan tutup botolnya menjadi sendoknya. Sangat kocak memang. Namun tak sia-sia. Kami berhasil menyantap "bubur mie" tersedap di selat Aru dengan sukses. Bon apetite!
Bon Apetite! |
Bubur Mie ala Selat Aru |
Setelah masalah perut teratasi kami mulai memandangi bendera merah putih di tiang tengah kapal kayu sambil berandai-andai mengikuti upacara. Itulah yang menyebabkan 17 Agustus 2009 menjadi berkesan bagiku. Memandang bendera merah putih lusuh di tiang kapal dan menyadari bahwa saat itu aku sedang mengabdi menjadi dokter di wilayah terpencil di Maluku membuatku bangga dapat memberi sesuatu untuk Maluku dan Indonesia.
Matahari beranjak naik ke atas. Sarung yang semalam berfungsi menjadi selimut penghangat kali ini berfungsi sebagai payung peneduh dan tenda untuk melindungi kulit dari sunburn. Umumnya Sunburn tak pernah absen bila aku melakukan perjalanan dari Dobo ke Longgar-Apara dan sebaliknya. Perlu sunblok dengan SPF 1000 (sayangnya sunblock ku cuma SPF 30) untuk mengindari sunburn di perjalanan yang panjang dengan kapal kayu di bawah matahari terik.
Spirit nampaknya sedang merajuk hari itu. Masih belum ada kemajuan berarti walau mekanik dan Ridwan sang pemilik kapal telah semalaman bermandi oli untuk membetulkan kapal. Beberapa kapal yang lewat menawarkan bantuan untuk menarik spirit ke desa terdekat, namun ukuran spirit yang cukup besar membuat tak bisa sembarangan kapal bisa menariknya.
Titik harapan muncul saat sebuah kapal besar dari Desa Lorang muncul. Hukum laut pun berjalan kembali. Mereka tanpa segan menanyakan masalah kami dan mulai mecoba memperbaiki. Hasilnya sama, nihil, spare part tetap diperlukan. Namun mereka bersedia menarik kapal kami ke desa Lorang untuk mencoba mencari spare part tersebut dan mengisi stok air bersih kami.
Kami singgah di Lorang sore hari, sebuah desa kecil dengan penduduk tak sampai 200 jiwa. Aku kurang beruntung karena temanku yang bertugas di Puskesmas Lorang sedang melakukan Puskesmas Keliling dan pintu Puskesmas tertutup rapat. Aku tidur di dermaga Lorang malam itu, di sebuah kapal yang sedang bersandar disana sambil ditemani gerimis. senaja ku tidak menyingkir ke dalam, karena ingin menikmati setiap titik air hujan jatuh ke kulitku dan akhirnya ku tertidur. Hari itu berakhir dengan sedikit baik.
Selat sempit tempat kami terapung |
18 Agustus
Spare part kapal yang diperlukan tidak kami temukan di Lorang. Namun mesin kapal sudah menyala dan kami dapat melanjutkan perjalanan yang baru setengah jalan dari Dobo ke Longgar-Apara. Tak ada jaminan bahwa mesin tak akan mati lagi, namun rasa ingin cepat sampai di rumah memaksa semua orang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Seingatku mesin kapal mati 2 kali lagi, namun masih bisa diperbaiki setelah berhenti beberapa jam. Kami juga berhenti di Desa Koba Sel Timur untuk mencoba mencari spare part karena ada sebuah toko disana.
Rasa letih, badan yang terasa lengket, muka yang mulai berminyak membuat ingin rasanya segera sampai, mandi, keramas dan tidur tanpa diganggu. dan keinginan itu terkabul. Tanggal 18 sore hari kami merapat di Apara dengan disambut banyak pertanyaan karena kami terlampau lambat sampai dan membuat banyak orang kuatir.
Tibalah aku di Puskesmas ku, Puskesmas Longgar-Apara. Aku tinggal disana di sebuah kamar ditemani 3 ekor anjing yang menemaniku. Molly, Miki dan Tira yang menyambutku. Segera kuminta seorang warga untuk mengisi air bak di kamar mandi ku, dan tanpa diminta beberapa orang mengirimkan makanan ke Puskesmas, karena tau dokternya masak sendiri dan nampaknya terlalu lelah untuk masak menunggu masakan matang. Mandi, keramas, makan segera kulakukan tanpa perintah. Selanjutnya kunyalakan pelita dan memasak air untuk minum.
Pelita dan menimba air adalah sesuatu yang tak asing saat ku bertugas di Longgar-Apara. Walau statusnya sebagai ibukota kecamatan, namun kami miskin fasilitas. Tak ada air PAM, tak ada listrik PLN bahkan sinyal TELKOMSEL pun tak muncul disana walau anda memanjat pohon kelapa tertinggi disana. Tower sinyal hanya ada di Dobo yang 14 jam perjalanan laut jauhnya dari sini (3 hari pada trip kali ini hehehe).
Pelita dan menimba air adalah sesuatu yang tak asing saat ku bertugas di Longgar-Apara. Walau statusnya sebagai ibukota kecamatan, namun kami miskin fasilitas. Tak ada air PAM, tak ada listrik PLN bahkan sinyal TELKOMSEL pun tak muncul disana walau anda memanjat pohon kelapa tertinggi disana. Tower sinyal hanya ada di Dobo yang 14 jam perjalanan laut jauhnya dari sini (3 hari pada trip kali ini hehehe).
Matahari mulai tenggelam dan lampu pelita mulai menerangi kamarku. Molly beserta anaknya miki dan tira kupaksa tidur lebih cepat kali ini dan rasanya nyaman sekali membaringkan badan di kaur busaku hari itu. Hari itu berakhir dengan sempurna.
Jalanan menuju Puskesmasku yang terletak di ujung kampung |
Bersama keluarga Bapak Ho. Keluarga baruku selama aku PTT di Longgar-Apara |
Puskesmas Longgar-Apara |
Puskesmas Longgar-Apara |
Related Articles :
Longgar dan Apara -2 Desa di Tepian IndonesiaA Journey Through Aru Islands
Indonesia, the Islands Nation
Senin, 13 Agustus 2012
Aerial Photography Part 8 : Bali
Seminyak, Legian, Kuta, Ngurah Rai Airport, Jimbaran and Uluwatu on Aerial Photo |
Sekitar Bandara Ngurah Rai |
the Legendary Beaches of Bali |
Pulau Serangan, Benoa, Nusa Dua, Jimbaran dan Ngurah Rai Airport Runway di sebelah kanan |
Aerial Photography Part 4 : Nusa Tenggara Barat
Aerial Photography Part 6 : Nusa Tenggara Timur