Kamis, 10 November 2011

Salarem, Grand Canyon nya Maluku

Salarem
Kepulauan Aru adalah tempatku mengabdi sebagai dokter PTT. Aku bertugas selama 6 bulan di Puskesmas Batugoyang dan 1,5 tahun berikutnya di Puskesmas Longgar-Apara. Puskesmas Batugoyang adalah Puskesmas Rawat Jalan dengan wilayah kerja yang cukup sempit, hanya 3 desa saja (Desa Batugoyang, Salarem dan Dosimar).

Sebulan sekali kami mengadakan Puskesmas Keliling (Pusling) ke Dosimar maupun Salarem. Bila angin timur bertiup di Aru (sekitar bulan Juni sampai Desember) maka perahu kami akan sukar merapat ke Salarem karena desa ini tidak memiliki dermaga. Solusinya adalah : "Kami berjalan kaki dari Batugoyang ke Salarem". Memang sedikit menderita, apalagi kami harus membawa obat-obatan, timbangan badan, bubur dan biskuit untuk anak yang kurang gizi dan perlengkapan pribadi.

Perjalanan jalan kaki dari Batugoyang menuju Salarem ditempuh dalam 2,5 jam menyusuri pasir putih dan 2 buah sungai yang bermuara ke laut. Sedang jika kita naik katinting (perahu kayu kecil yang bermesin) maka hanya dibutuhkan waktu setengah jam. Salarem dan Batugoyang adalah desa yang bertetangga. Dari Batugoyang kita dapat melihat bukit-bukit merah Salarem dengan cukup jelas. Salarem memang terkenal dengan bukit-bukit merahnya yang berbaris sepanjang tepi pantainya.

Salarem & Batugoyang terletak di titik terselatan Kepulauan Aru
Penari Tambaroro dari Salarem
Gereja di Salarem
Pusling dan Posyandu di Salarem
Uniknya jika kami akan melakukan Pusling ke Salarem dengan berjalan kaki, maka kami harus memperhitungkan pasang surut air laut. Akan bahaya jika berjalan menuju ke Salarem saat air pasang dan ini alasannya :

  1. Karena salah satu sungai yang kami akan lewati cukup dalam dan katanya ada buaya nya ckckck. Semakin pasang air laut, maka air yang biasa hanya setinggi betis atau pinggang bisa jadi setinggi dada atau berenang (alias lewat kepala). Sedangkan kami harus memastikan obat, biskuit, baju kami tetap kering, lagipula tidak ada yang bisa menjamin bahwa kami tidak ditemani sang reptil saat kami beraksi mengapung dengan gaya katak.
  2. Kita harus menghindari air pasang karena pesisir pantai menuju ke Salarem seolah dipagari oleh "dinding" merah vertikal memanjang. Sehingga harus berjalan saat surut agar tidak terjebak antara dinding merah dan laut jika pasang tiba (kecuali kalau kita pusling dengan Spiderman yang bisa nemplok di dinding merah Salarem)
  3. Dan ini alasan terpenting: Bila air sedang pasang, kita akan kehilangan momen untuk berfoto-foto dengan dinding merah Salarem yang terpahat indah. Hahaha itulah sebabnya baik perjalanan datang maupun pulang harus dilakukan sewaktu air surut.
Aku mempercayakan perhitungan pasang surut pada perawatku yang memang sudah ahli. Oh iya, di Puskesmas Batugoyang semua perawatnya perempuan, sehingga porsi bagasi ku juga cukup mantap untuk diangkut di punggung.

Perjalanan diawali dengan berjalan menuju pantai timur Batugoyang, butuh sekitar 40 menit jalan kaki untuk mencapai Marjugir (Sungai pertama dan dikelilingi rawa). Sedapat mungkin kami menyebrang di muara sungainya dekat laut yang melandai dengan dasar pasir putih. Hindarilah melewati sisi rawa nya yang serupa kolam lumpur walaupun kita bisa berburu kepiting-kepiting besar disana, karena bisa jadi kita selain berburu juga diburu oleh buaya disana. Bila laut sedang surut ketinggian air paling hanya sebetis sampai paha, tapi jangan coba lewat kalau pasang naik tiba.

Setelah berbasah-basah ria di Marjugir, maka kami melanjutkan perjalanan sampai menemukan sungai kecil kedua (Sirgway Jugir). Inilah batas antara Batugoyang dan Salarem. Sungai kecil itu seolah adalah "Papan Selamat Datang" menuju pemandangan indah yang akan kami nikmati sepanjang acara jalan kaki ke Salarem.

Sungai kecil Sirgway Jugir (yang ini dangkal dan tidak berbuaya)



Salarem, Kepulauan Aru

Merah di kiri, kuning di bawah dan biru di kanan. Itulah warna-warna yang akan menemani kita sepanjang perjalanan menuju Salarem. Perbukitan merah ala Grand canyon menjulang gagah setinggi 50 meter di kiriku. Pasir putih kekuningan dengan batu merah terhambur terhampar di bawah sebagai alas kakiku. dan disebelah kanan aku ditemani ombak dan birunya Laut Arafura yang kadang mengganas.

Perjalanan yang normalnya tinggal satu jam lebih bisa ngaret hingga dua kali lipat akibat keasikan foto-foto dan lupa Pusling. Apalagi jika ternyata air surut jatuh pada sore hari, kita bahkan piknik sambil istirahat disini. Lain halnya kalau surut jatuh pada tepat tengah hari maka perjalanan akan menderita hahaha.

Jika kita melihat langsung tebing di Salarem, yang pertama kita ingat adalah Grand Canyon. Walaupun tidak berliku-liku dan hanya berjajar seperti pagar di pesisir, namun kadang kontur tebingnya menyerupai candi-candi yang tenggelam di bebatuan merah tersebut. Kadang warna hijau tanaman tikar membuat gambaran kontras dengan latarbelakang merahnya tebing di sana.

Salarem terletak di atas tebing-tebing merah tersebut. Merupakan sebuah desa dengan jumlah penduduk 700an (th. 2007). Hampir 80% penduduk desa ini beragama Katolik, sisanya Protestan. Karena pesisir pantainya yang cenderung kurang bersahabat dan berombak kencang maka sektor perikanan kurang dominan di sana. Mereka cenderung berkebun, memangkur sagu dan berburu di hutan. Hasil kebun dan laut mereka bawa dan jual ke Meror, yang merupakan ibukota kecamatan. Roda perekonomian kurang berputar di desa ini bahkan banyak penduduknya yang bisa kita golongkan sebagai masyarakat miskin.

Kunjungan pasien saat kami Pusling di tempat ini cukup tinggi. Selalu di atas 50 pasien dan belum termasuk Posyandu, sehingga kami harus menginap di rumah kepala desa tiap kami turun Pusling karena kelelahan. Malaria merupakan penyakit yang lazim kami tangani saat Pusling dan angka kurang gizi di tempat ini cukup banyak.

Sebenarnya dari sisi pariwisata, daerah ini sangat berpotensi. Namun aksesnya yang sulit menjadi kendala yang besar. Dari peta dapat kita lihat bahwa Salarem terletak sangat jauh dar Dobo (ibukota dan pintu gerbang transportasi ke Aru). Diperlukan sekitar 14 jam perjalanan laut menggunakan kapal kayu untuk meraihnya. Dengan speedboat, mungkin dapat ditempuh dalam 4 jam. Kondisi kepulauan dan tanah yang berawa menyulitkan bagi pembangunan akses jalan darat di kabupaten ini. Transportasi laut masih menjadi moda transportasi andalan di Kabupaten ini yang menghubungkan desa-desa sepanjang pesisir pantainya.

Dengan tebing-tebing merahnya yang menjulang memanjang sejauh mata memandang,  jika seorang bertanya padaku : "Selama PTT di Aru mana desa yang paling indah pemandangannya?" Tanpa pikir panjang aku akan jawab : "Salarem". 
Perbandingan ukuran manusia dengan bukit merah Salarem



Me, in Salarem


Related articles :
Longgar dan Apara -2 Desa di Tepian Indonesia-
Hymn to the Sea and Sky 

A Journey Through Aru Island

5 komentar:

  1. Berhubung ada yang bertanya via FB ku bagaimana akses ke Salarem via Ambon maka akan kujelaskan. namun cukup panjang.
    Pertama, naiklah pesawat dari Ambon menuju Dobo 1,4 juta untuk sekali jalan.
    Kemudian dan ini yang paling parah : tidak ada angkutan regular dari Dobo menuju ke Salarem, hanya mengandalkan perahu penduduk Salarem yang sedang mampir ke Dobo. dan untuk kembali nya harus stay sampai ada perahu penduduk Salarem yang hendak ke Dobo.
    That's my Luck! hahaha, makanya aku bercerita di blog ini biar setidaknya bs dibayangkan keindahan Salarem walau hanya lewat tulisan dan gambar.
    Selamat menikmati!

    BalasHapus
  2. Kapalnya sewa atau gimana ya mas dari dobo ke salarem??
    Kalau sewa kira² berapa dari dobo sampai ke salarem??

    BalasHapus
  3. Kapalnya sewa atau gimana ya mas dari dobo ke salarem??
    Kalau sewa kira² berapa dari dobo sampai ke salarem??

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau perahunya milik desa Saleem, maka tidak perlu untuk di sewa, alias gratis

      Hapus
  4. Kapalnya sewa atau gimana ya mas dari dobo ke salarem??
    Kalau sewa kira² berapa dari dobo sampai ke salarem??

    BalasHapus